Ikhlas Sebagai Pondasi Segala Amal Perbuatan

cara agar bisa ikhlas

Segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan langsung kepada Allah dan Rosul-Nya, Shollalloohu 'alaihi wasallam maupun yang berhubungan dengan masyarakat, dengan sesama makhluq pada umumnya, baik yang wajib, yang sunnah maupun yang wenang, asal bukan perbuatan yang merugikan / bukan perbuatan yang tidak diridloi Allah Subhanahu wata’ala, melaksanakannya supaya didasari niat dan tujuan hanya mengabdikan diri kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan IKHLAS ! (Lillaahi Ta'ala).

Penerapan Lillah umumnya ulama’ dan umat Islam menyebutnya Ikhlas. Jika dua kalimat tersebut disatukan menjadi “Ikhlas Lillah”. Umumnya ulama dan masyarakat umum mengambil kalimat yang depan yakni IKHLAS dan istilah di sini mengambil yang belakang, yakni Lillah dengan maksud agar lebih mengarah kepada tujuan yang pokok. Karena kalimat “ikhlas” sudah tercampur dengan pengertian “rela” atau “senang”. Seperti ucapan “saya ikhlas memberikan sesuatu kepada kekasihku”. Ucapan ini belum pasti didasari tujuan semata-mata karena Allah (Lillaahi Ta'ala). Kemungkinan besar karena kepada kekasihnya dia rela memberikan sesuatu. Berarti pemberiannya itu karena kekasih (Lil-kekasih) belum karena Allah (Lillah). Akan tetapi jika ucapannya “saya memberi seseuatu kepada kekasihku dengan Lillah", berarti pemberiannya itu didasari ikhlas karena Allah (Lillah). Selain itu dengan ucapan Lillah sekaligus berdzikir kepada Allah.

Dikalangan masyarakat sering terjadi pengartian ikhlas yang salah kaprah. Misalnya; ikhlas adalah “ketika seseorang melakukan amal ibadah dan setelah itu dia melupakannya seakan-akan tidak pernah beramal”. Dicontohkan seperti orang mengeluarkan ludah, Setelah itu dia tak pernah berangan-angan / tidak merasa kehilangan ludah. Penerapan seperti ini belum mengarah kepada tujuan ibadah karena ALLAH (belum LILLAH); Masih dimungkinkan pelaksanaannya itu karena selain ALLAH. Yang lebih tepat ungkapan tersebut digunakan untuk menjaga kemurnian ikhlas Lillah. Supaya ikhlas Lillah-nya tidak rusak dengan timbulnya riya (pamer) atau membanggakan diri (‘ujub), maka diantara cara menjaganya seperti perkataan tersebut.

Ada lagi yang mengatakan: “Saya bekerja untuk mencari bekal ibadah”. Ucapan seperti ini jika diterapkan dalam hati masih belum mengarah kepada tujuan LILLAH. Benarkah hasil kerjanya nanti untuk ibadah kepada ALLAH atau hanya untuk menuruti kesenangan nafsunya? Masih belum jelas dan dikhawatirkan penyalahgunaannya. Sedangkan bekerjannya itu sendiri bisa langsung dijadikan ibadah karena ALLAH. Jadi yang lebih tepat adalah “Saya bekerja karena ALLAH (LILLAH)” atau karena melaksanakan perintah ALLAH, atau semata-mata beribadah kepada ALLAH. Seamuanya merupakan penerapan “LILLAH”.

Syekh Sahal At-Tustari berkata: “Penerapan ikhlas adalah hendaknya gerak diamnya seseorang, baik pada saat sendirian maupun ada orang lain semata-mata hanya karena ALLAH Ta’ala (LILLAH), tidak dicampuri karena sesuatu baik dorongan nafsu, menuruti kehendak / kesenangan nafsu maupun pamrih duniawi lainnya” (Dikutip dari kitab At-Tibyan An-Nawawi Bab 4)

Jadi beribadah itu tidak hanya terbatas pada menjalankan syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji yang menjadi rukun Islam itu saja, juga tidak hanya terbatas pada menjalankan ibadah-ibadah sunnah seperti membaca Al Qur’an, membaca dzikir, membaca sholawat, dan sebagainya. Akan tetapi disamping itu semua, segala gerak gerik manusia, segala tingkah laku dan perbuatannya, sepanjang tidak melanggar larangan Allah Subhanahu Wata’ala, harus dijadikan sebagai pelaksanaan ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Jika hidup manusia ini tidak selalu diarahkan untuk pengabdian diri / beribadah kepada Allah, ini berarti manusia telah menyimpang dari haluan hidup dan tujuan dihidupkan sebagaimana yang digariskan Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an Surat no. 51 Adz- Dzaariaat Ayat 56 :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات: 56)
Artinya kurang lebih: “Dan tiada AKU menciptakan jin dan manusia melain-kan agar supaya mereka beribadah mengabdikan diri kepada-KU” (QS. Adz Dzaariyat: 56)

Penyelewengan / penyalahgunaan mandat merupaka suatu kesalahan yang harus segera ditobati.

Salah satu syarat yang prinsip yang harus diterapkan dalam hati ketika menjalankan ibadah atau amal perbuatan yang bernilai baik adalah adanya tujuan (niat) di dalam pelaksanaannya. Setiap niat yang baik bisa diikuti sertakan dalam tujuan beribadah. Akan tetapi sebagai pondasi yang harus dikokohkan yang seandainya pondasi tersebut hancur akan hancur pula semua yang terbangun di atasnya, yaitu niat beribadah karena ALLAH (LILLAH). Jika tidak disertai niat beribadah, atau ada tujuan yang tidak benar, apapun macam perbuatannya, perbuatan taat sekalipun, amal perbuatan tersebut bisa jadi tidak dicatat sebagai ibadah.

Suatu contoh pelaksanaan sholat fardlu atau sunnah. Jika pelaksanaannya tidak didasari karena Allah (LILLAH), misalnya karena ingin memperoleh pujian atau sesuatu dari orang lain, maka sholat tersebut belum bisa dinamakan pengabdian kepada Allah yang murni semata-mata karena-NYA (LILLAH). Tapi masih karena selain Allah. (Lighoirillah). Amal ibadah yang karena selain ALLAH itu namanya amal “LIN-NAFSI” (hanya menuruti nafsu) atau menyembah nafsu. Padahal Allah Ta'ala tidak akan menerima suatu amal kebaikan (ibadah) yang pelaksanaannya karena selain-Nya. Ini namanya “syirik khofi fil-'ubudiyah” (menyekutukan tujuan dalam pelaksanaan ibadah dengan selain Allah); Sekalipun diistilahkan “khofi” tapi tetap berbahaya dan terkecam. Lebih-lebih merupakan suatu amal batin/ dilakakan dalam hati.

Begitu pula amal-amal ibadah fardlu dan sunnat lainnya; Sekalipun sudah tepat syarat dan rukunnya dalam pelaksanaan lahirnya akan tetapi tidak LILLAH dalam hatinya, namanya penipuan kepada Allah Subhanahu Wata’ala , kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain. Hal ini sangat berbahaya karena akan ditolak oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Firman Allah (Q.S. Al-Baqarah: 9)
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedangkan mereka tidak merasa”)

Begitu pula sebaliknya; jika suatu amal ibadah yang sudah bisa disertai niat LILLAH akan tetapi pelaksanaan lahirnya tidak sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, tidak tepat syarat, rukun dan adab-adabnya maka amal ibadah tersebut menjadi batal. Jadi dalam pelaksanaan ibadah disamping harus tepat tata cara pelaksanaannya secara lahiriyah, juga harus tepat niat dan tujuannya secara batiniyah, yakni semata-mata karena ALLAH (LILLAH).

Suatu perbuatan yang bersifat duniawi atau berhukum jawaz / mubah akan berobah menjadi amal ukhrowi atau amal ibadah jika pelaksanaannya didukung / disertai tujuan dan niat semata-mata karena Allah (LILLAH); Misalnya; pada saat nafsu seseorang menginginkan makan (bernafsu makan), saat itu pula hati mengarahkan keinginan nafsunya dengan merobah tujuan makannya. Yang semula “karena keinginan atau kesenangan” lalu dirobah menjadi “karena Allah (LILLAH)”, tidak karena kesenangan nafsunya. Dengan demikian makan yang dia lakukan itu bernilai ibadah karena Allah. Dia menjadi hamba Allah bukan hamba nafsu makan. Sekalipun sudah LILLAH namun urusan pelaksanaan syari’atnya makan harus tetap diperhatikan. Misalnya ; makanannya harus halal, diawali dengan bacaan Basmalah dan do’a sebelum makan, dan adab-adabnya supaya tetap dijaga.

Amal perbuatan yang harus didasari LILLAH hanyalah amal perbuatan yang baik, yang diridloi Allah. Perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan oleh syari’at, yang merugikan pihak lain, dan sebaginya sama sekali tidak boleh didasari dengan LILLAH. Misalnya “saya berzina, mencuri, mabuk-mabukan, dll. semata-mata karena Allah”. Ini namanya pelecehan dan pengihinaan kepada Allah. Dosanya menjadi dobel.

Sabda Rosulullah menegaskan hal niat ini sebagai berikut:
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
Artinya kurang lebih: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu ditentukan (dinilai) menurut niatnya; dan sesungguhnya yang diperoleh seseorang itu sesuai dengan yang dia niatkan. Maka barang siapa hirahnya (amalnya) semata-mata menuju Allah (LILLAH) dan mengikuti Rosul-Nya (LIRROSUL) maka hijrahnya itu sampai kepada Allah wan Rasul-Nya. Dan barang siap hijrahnya hanya untuk memperoleh harta dunia atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya hanya sampai pada yang dia tuju” (Riwayat Bukhori, Muslim dan lainnya dari Umar Ibnul Khottob RodiyAllahu ‘anhumaa.)

Penerapan LILLAH ini letaknya di dalam hati. Kelihatannya seperti sesuatu yang sepele (tiada arti) akan tetapi sangat menentukan sekali. Jika kurang mendapat perhatian atau kurang tepat penerapannya, bisa menghancurkan bangunan ibadah dan amal kebaikan secara keseluruhan. Begitu pula penerapan LILLAH ini tidak mudah, kecuali bagi orang yang mendapat hidayah dan taufiq dari Allah. Oleh karena itu disamping berlatih setiap saat juga harus berusaha bagaimana cara memperoleh hidayah dan taufiq tersebut. Cara untuk memperolehnya, dalam Wahidiyah, pengamalnya dibimbing untuk melakukan “mujahadah” dengan pengamalan Sholawat Wahidiyah dan selalu berlatih setiap saat menerapkan Ajaran Wahidiyah yang diantaranya adalah "LILLAH" ini.

Sekali lagi harus diingat bahwa yang boleh dan bahkan harus disertai niat ibadah LILLAH adalah terbatas pada perbuatan yang baik / yang tidak terlarang.

Adapun perbuatan yang melanggar syari’at atau undang-undang, yang tidak diridloi oleh ALLAH, yang merugikan, baik merugikan diri sendiri dan lebih-lebih merugikan orang lain, sama sekali tidak boleh dilakukan dengan disertai niat ibadah LILLAH. Harus dijauhi dan ditinggalkan. Betapapun kecil dan remehnya. Harus berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi dan meninggalkan ! Dan pada saat menjauhi atau meninggalkan itulah yang harus disertai niat ibadah LILLAH. Jangan sampai dalam kita menjauhi atau meninggalkan munkarot itu didorong oleh kemauan nafsu. Harus LILLAH - beribadah kepada ALLAH, menjalankan perintah ALLAH (Subhanahu wata’ala) ! Titik. Tidak ingin begini dan begitu.

Ikhlas LILLAH di sini supaya dijadikan sebagai pondasi dari segala amal. Di atas pondasi itu dibangun berbagai bangunan amal perbuatan, termasuk tujuan / niat lain yang tidak bertentangan dengan syari’at. Misalnya; datang ke rumah saudara. Kedatangannya itu supaya didasari niat “LILLAAHI TA’ALA” Begitu pula tujuan / niat shilaturahim, memberi bantuan, dan sebagainya supaya didasari LILLAH. Sehingga kadatangan, shilaturahim, dan pemberian bantuannya masing-masing tercatat ibadah karena ALLAH. Demikian seterusnya di dalam kita menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at,. Jangan karena terdorong oleh kepentingan nafsu supaya begini dan begitu, agar tidak merusak dan menghancurkan nilai bangunan amal yang kita kerjakan.

Masalah pamrih atau berkeinginan terhadap sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan, ingin kepada kebaikan-kebaikan; seperti ingin pahala, surga dan sebagainya atau takut dari sesuatu yang menakutkan ; seperti kesusahan, penderitaan, siksa neraka dan lain sebagainya, itu diperbolehkan. Bahkan sewajarnya harus begitu. Sebab manusia tidak lepas dari sifat basyariyah yang mempunyai keinginan dan harapan serta kemauan-kemauan yang semuanya bersumber dari nafsu, dan nafsu itupun suatu anugrah Tuhan yang diberikan kepada manusia sehingga menjadi makhluk yang lebih lengkap dan paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. Maka nafsu seperti itulah yang harus diarahkan. Diarahkan ke arah yang telah digariskan oleh Allah (Subhanahu wata’ala); yaitu “Liya’buduuni” tersebut. Diarahkan untuk ibadah kepada Allah (Subhanahu wata’ala). Jika tidak diarahkan, pasti akan terjadi timbunan hawa nafsu yang serakah dan mengakibatkan penyelewengan dan penyalahgunaan yang akibatnya akan menghancurkan manusia itu sendiri. Bahkan bisa menghancurkan ummat dan masyarakat. Oleh karena itu di dalam berkeinginan atau pamrih seperti di atas harus disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan ikhlas LILLAH (semata-mata karena Allah).

Jadi lebih jelasnya, ketika kita bersembahyang, berpuasa, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, membaca Qur’an, membaca dzikir, membaca sholawat dan sebagainya supaya disertai niat beribadah yang sungguh-sungguh ikhlas LILLAH. Jangan sampai kita melakukan semua tadi hanya karena ingin surga, ingin pahala, takut neraka, ingin terhormat, ingin terpuji, ingin kaya dan sebagainya. Begitu juga ketika kita bekerja, belajar, berjuang untuk bangsa, agama dan negara, mengurus dan mengatur rumah tangga, kita ke sawah, ke pasar, ke kantor, ke toko, dan ketika kita makan, minum, tidur, istirahat, mandi dan sebagainya dan sebagainya, selama bukan pekerjaan yang melanggar aturan supaya disertai dengan niat ibadah kepada Allah (Subhanahu wata’ala) dengan ikhlas semata-mata karena ALLAH (LILLAH) tanpa pamrih. Begitu juga ketika kita berkeinginan, berkemauan, berangan-angan, berfikir dan sebagainya harus disertai niat ibadah kepada Allah. (LILLAH). Jadi benar-benar melaksanakan pernyataan yang kita baca pada setiap sholat yaitu :
إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk ALLAH Robbil ‘Aalamiin”.

Dan menerapkan di dalam hati kandungan ayat yang sering kita baca di dalam Surat Al Fatihah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya kepada Engkaulah yang kami mengabdikan diri dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan"

Dengan demikian bagi yang telah mampu menerapkan hal-hal tersebut boleh dikatakan hatinya senantiasa ber-tahlil : “LAA ILAAHA ILLALLAH” (TiadaTuhan melainkan ALLAH”).

Ilmiah dan pengertian mudah dipelajari / mudah dihafal. Akan tetapi disamping pengertian, perlu diusahakan penerapan dan pelaksanaan ilmiah yang sudah kita miliki. Tidak cukup hanya dipelajari, dibahas, diperdebatkan keshahihan dasar, didiskusikan, diseminarkan dan lain sebagainya. Kalau tidak diamalkan dan diterapkan dalam hati akan menjadi tambahan penyakit.

Sabda Nabi (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) yang artinya: “Sesungguhnya ALLAH Ta’ala tidak memandang bentuk lahiriyahmu (kepandaian, kemasyhuran, kedudukanmu) dan harta bendamu, melainkan Allah Ta’ala memandang hatimu dan amal perbuatanmu” (H.R. Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah, Rodliyalloohu’anhu).

Jadi jelasnya, amal perbuatan apa saja, berupa sholat sekalipun, jika tidak disertai niat ibadah LILLAH otomatis disalahgunakan oleh nafsu atau LINNAFSI, menuruti keinginan nafsu. Dan nafsu adalah sebagai sarang iblis dan syetan.

Mari kita mengadakan koreksi kepada diri kita masing-masing. Sudahkah kita senantiasa berikhlash LILLAH dalam segala amal perbuatan kita yang baik ? Kalau sudah, kita harus bersyukur kepada ALLAH (Subhanahu wata’ala) karena keikhlasannya itu semata-mata karena fadlol dari-NYA. Kalau belum bisa ikhlas mari bersama-sama kita berusaha dan berlatih dengan sungguh-sungguh serta berdo’a semoga ALLAH (Subhanahu wata’ala) segera berkenan membukakan pintu hidayah-Nya kepada kita bersama. Amiin.

Dasar-Dasar Beramal Dengan Ikhlas Lillah

a. Firman Allah dalam Surat Al-Bayyinah ayat 5:

Padahal mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah ALLAH dengan memurnikan keta’atan kepada-NYA dalam (menjalankan) agama dengan lurus (dengan ikhlas LILLAH)”.

b. Firman ALLAH (Subhanahu wata’ala) dalam Q.S. 51 : Adz-Dzariyat 56:

Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka mengabdikan diiri kepada-KU”.

c. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda:

Sesungguhnya semua amal itu tergantung pada niat, dan seseorang mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Barang siapa hijrahnya (beramalnya) menuju ALLAH (LILLAH) dan Rasul-NYA (LIRROSUL) maka hijrahnya diterima oleh ALLAH dan Rasul-NYA, dan barang siapa hijrahnya (beramalnya) untuk memperoleh materi atau mempersunting perempuan maka nilai hijrahnya sesuai dengan yang ditujunya ”. (H.R. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa-I dari Sayyidina Umar bin Khotthob )

Yang dimaksud ”A’maalu” dalam hadits adalah semua amal perbuatan yang tidak bertentangan dengan syari’at baik berupa ucapan maupun perbuatan anggota badan lainnya. Nilai suatu amal sangat ditentukan oleh niatnya.

Jadi segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala keadaan, siatuasi dan kondisi yang bagaimanapun, hidup di dunia ini harus diarahkan untuk pengabdian diri / beribadah kepada Allah (Subhanahu wata’ala) sebagai pelaksanaan tugas “LIYA’BUDUUNI”.

d. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :

Ikhlaskan amalmu hanya kerena ALLAH (LILLAH) sebab ALLAH tidak akan menerima amal kecuali amal yang ikhlas kepada-Nya”.

e. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :

“Dunia seisinya dila’nat (dikutuk oleh ALLAH) kecuali sesuatu yang digunakan/ dilakukan semata-mata mengharap ridlo-NYA (Lillah)” (H.R. Thabrany).

Keuntungan Bagi Yang Ikhlas Lillah

a. Firman Allah (Q.S. 16 – An-Nahl- 97) :

Barang siapa mengerjakan amal shaleh (LILLAH), baik laki-laki maupun perempuian dalam keadaan beriman (BILLAH) maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Suatu amal perbuatan seseorang dinamakan shaleh menurut pandangan ALLAH jika dilakukannya dengan ikhlas semata-mata hanya karena-NYA (LILLAH).

b. Dalam suatu hadits, Beliau (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :

Ikhlaskanlah amalmu semata-mata karena ALLAH (LILLAH), maka sedikit amal dengan ikhlas sudah memadai (mencukupi) bagimu”. (HR Abu Mansur dan Ad-Dailami)

c., Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :

Tiada seseorang beramal dengan ikhlas karena Allah selama 40 hari kecuali akan memancar sumber-sumber hikmah dari hati sampai ke lisannya”. (HR. Ibnul Juzy dan Ibnul ‘Addy dari Abi Musa Al-Asy’ary, Ra ).

d. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :

Barang siapa meninggal dunia dia senantiasa berikhlas karena ALLAH semata (LILLAH) dan tiada menyekutukan-NYA (BILLAH) (pada masa hidupnya) serta menegakkan sholat dan menunaikan zakat maka dia meninggal dunia dengan memperoleh ridlo Allah “ (H.R. Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Anas bin Malik)

e. Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda :

Barangsiapa cinta karena ALLAH (Lillah), benci karena ALLAH, memberi karena ALLAH dan menolak (tidak memberi) karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya”. (HR. Abu Dawud dan Adh-Dhiya’ dari Abi Umamah dengan sanad shoheh).

f. Ditegaskan pula dalam hadits Nabi (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) yang lain :

Alangkah bahagianya orang-orang yang beramal dengan ikhlas (LILLAH). Mereka itulah sebagai lampu-lampu petunjuk yang menghilangkan kegelapan fitnah" (HR. Baihaqi dan Abu Nu’aim dari Tsauban)

g. Ikhlas menurut Imam Ghozaly

Adalah diam dan geraknya seseorang itu hanya karena ALLAH. (LILLAH) Begitu pula Syekh Zaini Dakhlan berpendapat bahwa ikhlas itu adalah kesamaan antara lahir dan batin bagi seseorang dalam menjalankan suatu amal; Artinya secara lahir ia menjalankan amal sesuai perintah Allah, dan hatinya berniat semata-mata karena ALLAH (LILLAH). Disamping itu ia tidak akan berubah karena keadaan; baik ada orang maupun tidak.

Kerugian Dan Kecaman Bagi Yang Tidak Menerapkan Lillah

Orang yang tidak menerapkan ikhlas LILLAH termasuk dalam firman ALLAH yang artinya:

“Mereka menipu AlLLOH dan menipu orang-orang yang beriman. Sebenarnya mereka tiada menipu kecuali kepada dirinya sendiri sedangkan mereka tidak merasa” (Q.S. Al-Baqarah: 9)

Dalam Hadits Qudsi disebutkan : ALLAH berfirman: 

Aku tidak memerlukan persekutuan dan Aku tidak memerlukan suatu amal yang dipersekutukan dengan selain-KU. Barangsiapa beramal dengan menyekutukan selain Aku (tidak murni karena Aku), maka Aku terlepas darinya”. ( disebutkan oleh Al-faqih As-Samar-qondy dalam kitab Tanbihul-Ghofilin dari hadits Abi Huroiroh, Ra).

Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda:
إن الله عز وجل لا يقبل من العمل إلا ما كان له خالصا
Sesungguhnya ALLAH tidak menerima suatu amal kecuali amal yang ikhlas (LILLAH) dan dilakukan semata-mata mengharap ridlo-NYA”. (HR.Nasa’i dari Abi Umamah).

ALLAH (Subhanahu wata’ala) berfirman (Q.S.15 Al-hIjr : 39-40 ) menghikayahkan ucapan iblis :

Iblis berkata: “Yaa Tuhanku, sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku tersesat, pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik perbuatan ma’siatnya di muka bumi ini, dan pasti aku akan menyesatkan mereka, kecuali hamba-hamba Engkau yang berikhlas di antara mereka”. 

Logikanya orang-orang yang tidak benar-benar beramal dengan ikhlas LILLAH dia dengan mudah akan diombang-ambingkan dalam kesesatan oleh Iblis. Sekalipun kelihatannya beramal baik kemungkinan besar di balik kebaikannya itu ada keburukan bahkan mungkin ada kejahatan yang berlindung. Apabila kejadian seperti ini tidak diperhatikan dan dibiarkan berlarut-larut mewabah ke lubuk hati setiap insan maka akan berakibat fatal. Penipuan (sekalipun dangan cara yang halus), penyalahgunaan hak, kerakusan, kemunkarotan dan sebagainya akan terjadi di semua sektor kehidupan masyarakat. Dengan demikian tidak mustahil lagi jika keadaan ummat manusia semakin tersesat dengan hawa nafsunya dan tidak memperoleh petunjuk dari ALLAH (Subhanahu wata’ala). 

ALLAH (Subhanahu wata’ala) berfirman dalam(Q.S. 28 - Al-Qoshos 50 : “Tiada seseorang yang lebih tersesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya serta tidak mendapat petunjuk dari ALLAH. Sesungguhnya ALLAH tidak akan memberi petunjuk kepada kaum (orang-orang) yang zhalim”. 

Rosululloh (Shollalloohui ‘alaihi wasallam) bersabda: “Sesembahan di atas bumi yang sangat dimurkai ALLAH adalah hawa nafsu”. (HR. Thobroni dari Abi Umamah)


WALLOOHU A'LAMU BISH-SHOWAB.

"Terima Kasih atas kunjungannya dan Mohon maaf atas kekurangannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar