Lillah Billah

karena Allah

Pengertian Lillah

Artinya: segala perbuatan apa saja lahir maupun batin, baik yang hubungan langsung kepada Alloh Wa Rosulihi SAW, maupun yang hubungan di dalam masyarakat, bahkan dalam hubungan dengan sesama makhluk, baik kedudukan hukumnya wajib, sunah atau mubah, asal bukan perbuatan yang tidak diridhoi Alloh, bukan perbuatan yang merugikan, melaksanakannya supaya disertai niat beribadah mengabdikan diri kepada Alloh dengan ikhlas tanpa pamrih. Lillahi Ta’ala. Baik pamrih akhirat, lebih-lebih pamrih duniawi.
Alloh berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tiadalah AKU menciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka beribadah (mengabdikan diri) kepada-KU’. (Adz-Dzariyat: 56)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka disuruh, melainkan supaya beribadah (mengabdikan diri) kepada Allah dengan ikhlas/memurnikan ketaatan kepada-Nya”. (Al-Bayyinah: 5)


Jadi yang dimaksud “Ibadah” itu tidak hanya terbatas menjalankan syari’at islam seperti syahadat, sholat, puasa, zakat, haji, membaca dzikir, membaca al-Qur’an dan sebagainya, melainkan seluruh bidang kegiatan kita (asal bukan perbuatan yang dilarang syari’at) harus kita curahkan 100 % untuk ibadah dengan menyertakan niat “Lillah” dalam segala gerak hidup dan kehidupan. Berekerja, makan, minum, tidur dan sebagainya harus niat ibadah LILLAHI TA'ALA.

قال صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل: اخلص العمل يجزك منه القليل (رواه ابو منصور والديلمى
“Rosul SAW bersabda kepada Mu’adz Bin jabal”: “Ikhlaskanlah amalmu, maka amal ikhlas yang sedikit saja sudah memadai (mencukupi) bagimu”. (HR Abu mansur dan Ad-Dailami)
طوبى للمخلصين أولئك مصابيح الهدى تنجلى عنهم كل فتنة ظلمآء (رواه ابو نعيم عن ثوبان
“Alangkah bahagianya orang-orang yang beramal dengan ikhlas. Mereka-mereka itulah sebagai lampu-lampunya petunjuk, dimana segala fitnah yang digambarkan sebagai kegelapan menjadi jelas bagi mereka”. (HR. Abu Nu’aim dari Tsauban)

Kenapa harus Lillah ?

Orang yang tidak Lillah, namanya Lighoirillah. Berbuat dan beramal tidak karena Allah melainkan karena selain Allah. Istilah dalam Wahidiyah disebut Linnafsi. Berbuat atau beramal hanya karena menuruti keinginan dan kemauan hawa nafsunya. Kelihatan ta’at tapi hanya pada lahiriyahnya saja. Sedang batinya adalah menuruti nafsu, berarti dia diperalat oleh nafsunya. Diperbudak nafsunya. Dengan kata lain dia mengabdi atau menyembah kepada hawa nafsunya sendiri ! dan orang yang demikian inilah yang termasuk golongan orang yang amal ibadahnya tidak diterima dan  tidak  mendapat petunjuk dari Alloh.
Alloh berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh sedikitpun ?. sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dholim”. (Al-Qoshos : 50)

Nabi SAW bersabda:
ان الله تعالى لا يقبل من العمل الا ما كان له خالصا وابتغى به وجهه (رواه النسائى عن ابى أمامة
“Sesungguhnya Alloh tidak menerima daripada amal kecuali amal yang sungguh-sungguh ikhlas (Lillah) semata-mata mengharap ridlo-Nya”. (HR. Imam Nasa’I dari Abi Amamah).
Kesimpulannya orang yang beramal ibadah hanya menurut kemauan nafsunya, amal perbuatan apa saja berarti ia menyembah kepada nafsunya sendiri. Dia adalah hamba daripada nafsunya, dia mempertuhan nafsunya. Dan nafsu itu adalah yang paling dimurkai oleh Alloh, maka dengan sendirinya orang yang menjadi hamba nafsu itulah orang yang paling dimurkai Alloh.
Nabi SAW bersabda:
ابغض إله عبد عند الله فى الأرض هو الهوى (رواه الطبرانى عن ابى أمامة الباهلى
“Berhala sesembahan di bumi yang paling dimurkai dan dikecam oleh Alloh adalah “hawa nafsu”.

Karena takut neraka dan mengharapkan surga ?

Lillah (ihklas) semata-mata karena dan untuk Allah, bukan berarti menutup pintu harapan ingin terhadap pahala, surga dan sebagainya atau takut siksa neraka dan sebagainya. Kita harus ingin kepada hal-hal yang baik yang menguntungkan dan harus takut kepada hal-hal yang buruk yang merugikan. Akan tetapi di dalam kita ingin atau takut itulah yang harus kita niati ibadah Lillah, sebab kita memang diperintah supaya berharap kepada pahala, surga dan lain-lain, dan supaya takut kepada siksa, neraka dan lain-lain.

Jadi amal-amal ibadah kita apa saja seperti sholat, puasa, baca Al-Qur’an, dzikir, baca sholawat, menolong orang lain dan sebagainya jangan sampai didorong oleh rasa ingin atau takut, melainkan didorong oleh pengabdian diri, niat ibadah kepada Alloh dengan ikhlas tanpa pamrih “Lillahi Ta’ala”.
Alloh berfirman:
وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ۚ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ
“Sembahlah Alloh dengan meng-ikhlas-kan keta’atanmu kepada-Nya”. (Al-A’rof :29)

Pengertian Billah

Artinya dalam segala kehidupan, gerak gerik kita atau perbuatan atau tindakan apa saja lahir atau batin, dimanapun dan kapanpun, supaya dalam hati senantiasa merasa bahwa yang menciptakan dan menitahkan serta menggerakkan itu semua adalah Alloh Maha pencipta. Jangan sekali-kali mengaku atau merasa bahwa kita mempunyai kemampuan sendiri.
Ini mutlak, dalam segala hal supaya merasa begitu. Baik dalam keadaan ta’at maupun ketika ma’siat, harus merasa Billah ! tanpa kecuali ! ini harus kita sadari !. karena sifat ma’ani dan ma’nawi adalah sifat wajib bagi Allah dan mukhal (tidak mungkin) bagi makhluk. Alloh berdiri sendiri, tidak membutuhkan dzat yang mendirikan, dan segala sesuatu selain Allah adalah qooimun (berdiri) dengan Allah (Billah). Maka tidak ada sesuatu di dalam wujud ini yang berdiri dengan dirinya sendiri kecuali hanya Allah yang punya sifat al-Chayyu al-Qoyyum, berdiri dengan Dzat-Nya sendiri. Segala sesuatu yang hadist (baru) di alam semesta ini adalah perbuatan dan ciptaan Allah. Tidak ada pencipta dan pembuat perkara baru kecuali hanya Allah.

Alloh berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Alloh-lah yang menciptakan kamu sekalian dan apa yang kamu sekalian perbuat”. (As-Shoffat : 96)
Oleh sebab itu meskipun perbuatan seseorang itu kasab (tampak usahanya sendiri), perbuatan itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah. Maka tidak terjadi pula ada suatu kegiatan di alam dunia dan alam malakut dalam sekejap mata dan sekedip pandangan kecuali dengan kepastian, keputusan dan kehendak Allah SWT.
Alloh berfirman:
فَيُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ

“Alloh menyesatkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki”. (QS. Ibrohim: 4).
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Tidaklah kamu sekalian berkehendak, melainkan Alloh Tuhan semesta alma yang berkendak”. ( QS. At-Takwir: 29)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ

“ Dan tidaklah kamu melempar ketika kamu melempar, akan tetapi Alloh-lah yang melempar”. ( QS. Al-Anfal: 17)

Apabila seseorang telah menyadari yang demikian, maka ia akan mengetahui tentang hakikat, yang ada hanyalah Allah dan tidak ada sesuatu yang bersama-Nya. Dan ketika itu pula akan terbuka bagi mata hatinya dengan menyadari bahwa sesungguhnya kekuasaannya adalah kekuasaannya Allah, kehendaknya adalah kehendaknya Allah, ilmunya adalah ilmunya Allah, hidupnya adalah hidupnya Allah, pendengaranya adalah pendengarannya Allah, penglihatannya adalah penglihatannya Allah dan bicaranya adalah bicaranya Allah. Artinya, apabila ia berkuasa maka dengan kekuasaannya Allah, berkehendak dengan kehendaknya Allah, berilmu dengan ilmunya Allah, hidup dengan hidupnya Allah, mendengar dengan pendengarannya Allah, melihat dengan penglihatannya Allah dan berbicara dengan bicaranya Allah; artinya “ Billah ”, sebagai penerapan kandungan kalimah “LAA KHAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAH”. 

Perasaan yang demikian itu harus diterapkan dan disadari dalam setiap keadaan dan setiap keluar masuknya nafas. Dan ketika sudah menyadari yang demikian itu, ia akan mengetahui bahwa semua sifat yang disandarkan kepada dirinya sebagaimana perkataan “kamu mengetahui”, “kamu mendengar” dan lain sebagainya, itu merupakan kata pinjaman dan majaz, dan penyandaranya kepada Alloh adalah melalui pandangan sebagai pemilik yang hakiki.
Rosulullah SAW bersabda :
يقول الله تعالى: لا يزال عبدى يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاذا أحببته كنت سمعه الذى يسمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها الحديث (رواه البخارى عن ابى هريرة رضىالله عنه
“Alloh berfirman : “ Hamba-hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunah hingga sampai Aku mencintainya. Maka ketika Aku mencintainya, Aku jadi pendengarannya ketika ia mendengar, Aku jadi penglihatnnya ketika ia melihat, Aku jadi tangannya ketika ia memukul dan Aku menjadi kakinya ketika ia berjalan”. (HR. Bukhori dari Abi Huroiroh ra).
Dengan kata lain; “Dengan Aku ia mendengar, dengan Aku ia melihat, dengan Aku ia memukul dan dengan Aku ia berjalan. Dan menurut ajaran Wahidiyah; dengan Allah ia mendengar, dengan Allah ia melihat, dengan Allah ia memukul dan dengan Allah ia berjalan ( B I L L A H ).

Penerapan firman Alloh QS. An-Nisa’: 79 ?

“Dan apa yang menimpa dirimu dari kebaikan maka itu dari Alloh, dan apa yang menimpa dirimu dari kejelekan maka itu dari dirimu sendiri………?”

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. Perlu kita sadari bahwa dalam ayat itu Allah benar-benar memerintah kepada kita untuk menyandarkan perkara jelek kepada diri kita itu untuk penempatan adab (tatakrama) bagi diri kita. Maka kita menyandarkan perkara jelek kepada diri kita adalah karena ta’at mengikuti perintah  Alloh.

Dan segala sesuatu dari kebaikan secara syari’at, maka kita menyandarkan kepada Allah itu karena penciptaan, dan menyandarkannya kepada diri kita karena penempatan (sebagai tempat amal). Adapun untuk perkara jelek maka kita menyandarkan kepada diri kita karena mengikuti penyandarannya Allah kepada diri kita (Lillah / karena perintah Allah). Sedangkan melalui pandangan hakikat, kepemilikan, penciptaan dan perwujudan maka segala sesuatu (perkara baik dan jelek) adalah dari sisi Allah. 

Allah berfirman:
وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِ اللَّهِ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِندِكَ ۚ قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللَّهِ
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka berkata; ‘ini adalah dari sisi Alloh’, dan jika mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka berkata; ‘ini dari sisi kamu sendiri –Muhammad-. Katakanlah ‘Semua itu –datang- dari sisi Alloh”. (An-Nisa’ : 78).

Penyandaran segala sesuatu kepada Allah dalam firman-Nya yang artinya:
“katakanlah segala sesuatu itu dari sisi Allah”
adalah menurut pandangan hakikat, karena sesungguhnya Allah yang menciptakan dan yang mewujudkan. Adapun penyandaran perkara jelek kepada seorang hamba dalam firman-Nya:
“apa yang menimpa dirimu dari kejelekan, itu dari dirimu sendiri”
adalah melalui pandangan majaz (kiasan). Contohnya seperti orang yang mengasuh seorang anak yang bukan anaknya sendiri. Ketika ia ditanya “Apakah ini anak saudara……?. Lalu ia menjawab “Ya”. Jawaban ini adalah pernyataannya lisan, namun hatinya menyaksikan dan menyadari bahwa sesungguhnya anak itu bukan anaknya sendiri. Dan pengakuannya bahwa anak itu anaknya sendiri adalah karena perintah dari orang tua anak itu yang sebenarnya. Maka apabila ia tidak merasa demikian, ia adalah pendusta, karena mengakui sesuatu yang bukan miliknya menurut hukum syari’at dan hakikat.

Kenapa harus Billah ?

Orang yang tidak sadar Billah, sekalipun ia masih beriman, dia tidak lepas dari bahaya musyrik = mempersekutukan Allah. Sekalipun syirik khofi (samar-samar)
Allah berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan sebagaian besar dari mereka tidak sadar BILLAH melainkan mereka masih mempersekutukan Allah”.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun sekiranya dipersekutukan dengan-Nya, dan Dia mengampuni dosa-dosa lain selain dosa syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh ia tersesat sejauh-jauhnya”.
كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ، أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ

“Ketahuilah sesungguhnya manusia itu benar-benar melampui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”. (Al-Alaq :6-7)

Yang dimaksud ayat ini adalah manusia benar-benar lacut dan kufur, karena melihat dirinya merasa cukup dengan dirinya sendiri, jauh dari Allah (Binnafsi). Maka semua orang yang berkeyakinan bahwa dia merasa cukup dengan dirinya sendir (Tidak Billah) dalam sekejap mata, niscaya dia telah benar-benar lacut dan kufur, karena semua makhluk adalah membutuhkan Allah dalam gerak dan diamnya(tidak bergerak dan diam kecuali hanya dengan Allah, tidak dengan dirinya sendiri). Oleh sebab itu wajib bagi setiap orang mukallaf untuk mempelajari dan mengamalkan Ilmu Billah agar dia tidak lacut dan kufur, karena niatnya orang yang lacut dan kufur akan menimbulkan riya’, ujub dan takabbur. Sehingga dia tidak melihat dirinya sendiri kecuali dengan pandangan kebesaran, dan melihat orang lain dengan pandangan merendahkan, bahkan tidak terlintas dalam gerak hatinya kecuali ada rasa “Aku lebih baik, lebih mengetahui, lebih taqwa dan lebih mulya dari pada kamu…….dsb.
فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah (Alloh) yang paling mengetahui tentang orang-orang yang taqwa”. (An-Najm :32)

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepada-mu (Muhammad) dan kepada Nabi-nabi sebelum-mu : “Jika Engkau mempersekutukan Alloh (tidak sadar Billah), niscaya akan menjadi hapuslah amalmu, dan tentulah engkau termasuk orang-orang yang menderita kerugian”. (Az-Zumar: 65)

ان قليل العمل ينفع مع العلم بالله وكثير العمل لا ينفع مع الجهل بالله
“Sesungguhnya sedikit amal yang disertai sadar Billah itu bermanfaat adanya, dan sesungguhnya banyaknya amal yang dikerjakan dengan bodoh Billah (tanpa sadar Billah) itu tidak bermanfa’at adanya”.
Karena sebagaimana dijelaskan diatas bahwa orang yang tidak sadar Billah otomatis Binnafsi (merasa mampu dengan dirinya sendiri). Dan orang yang Binnafsi otomatis mempunyai rasa “Ujub, riya’, takabbur dan sekaligus menyembah dan mengabdi kepada nafsunya. Dan semua  itu akan merusak amal (tidak diterima oleh Allah), bahkan amal-amal itu akan dirupakan siksa untuk menyiksa orang yang beramal !.
Allah berfirman:
وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتُلْقَىٰ فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَّدْحُورًا
“Dan janganlah kamu sekalian menjadikan Tuhan disamping Allah; yang demikian itu menyebabkan kamu akan dilemparkan kedalam neraka jahanam dalam keadaan terkutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah”.

Bolehkah bagi orang awam mempelajari Ilmu Billah ?

Dalam hal ini Imam Qhozali berkata :
“Semua manusia telah ditanami iman Billah, bahkan ditanami ma’rifat untuk mengetahui segala sesuatu menurut iman Billah. Oleh sebab itu mengajar manusia dengan ilmu Billah adalah tidak bertentangan dengan batasan hukum syari’at, bahkan lebih sesuai dengan pembawaan manusia itu sendiri”.

Allah berfirman:
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“Tetaplah atas fitroh Allah, yang menciptakan manusia menurut fitroh itu”. (Ar-Rum: 30)

Rosulullah SAW bersabda:
كُلّ موْلودٍ يُولدُ على الفِطرَة (رواه البخارى
“Semua bayi itu dilahirkan berdasarkan atas fitroh”. (HR. Bukhori)

Yang dimaksud fitroh adalah naluri atau pembawaan yang ada dalam jiwa seorang anak. Dan dengan fitroh itu ia telah siap untuk ma’rifat kepada Tuhannya. Maka mengajar seorang anak dengan ilmu Billah adalah tidak keluar dari batasan hukum syari’at, bahkan sangat sesuai dengan naluri dan pembawaannya. Karena apabila selama naluri dan pembawaan seorang anak itu tetap pada keadaannya, maka jiwanya akan tetap berada diatas kebenaran dan tuntunan agama islam, dan tidak ada yang menutupi jiwanya dari kebenaran dan tuntunan agama islam setelah ia dewasa, melainkan keragu-raguan yang ditanam oleh syaithon.

Sedangkan ma’rifat kepada Allah itu adalah fardu a’in bagi orang yang sudah baliq, termasuk bagi seorang anak. Pendapat ini menurut para Ulama Madzab Hanafi dan Ulama Iraq. Karena kewajiban beriman bagi orang baliq itu dengan mengambil pengertian akal. Maka apabila seorang anak sudah berakal, maka wajib bagi dirinya untuk ma’rifat kepada Allah. Oleh sebab itu belajar ilmu Billah adalah fardu a’in, bahkan menjadi kewajiban pertama bagi setiap orang mukallaf, karena bodoh Billah adalah haram, sedangkan ma’rifat Billah adalah wajib. Dan ibadah kepada Allah itu terhenti pada ma’rifat, maka orang yang tidak ma’rifat kepada Allah ia termasuk orang yang tidak ibadah kepada-Nya.

Sebab firman Alloh QS. Adz-Dzariyat: 56, yang artinya:
“ Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar supaya mereka beribadah”,
Menurut Ibnu Abbas mempunyai pengertian “kecuali agar supaya mereka ma’rifat”. Maka orang yang tidak ma’rifat kepada Allah hukumnya sama saja dengan tidak ibadah. Padahal iman (keyakinan) itu mengikuti (didahului) oleh ma’rifat, maka bagaimana kita akan menyembah Alloh yang kita tidak ma’rifat (mengenal) kepada-Nya, dan ketika kita meyakini Alloh dan sifat-sifat-Nya dengan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, maka ibadah kita seperti debu yang dihambur-hamburkan angin tidak ada gunanya.

Menerapkan Billah saja tanpa menerapkan Lillah ?

TIDAK BOLEH !.Karena Lillah Billah itu ibarat syari’at dan hakikat. Ibarat berlakunya dhohiriyah dan bathiniyah. Amal Lillah adalah amal yang memenuhi hukum lahiriyah, sedangkan amal Billah memenuhi hukum bathiniyah.

Oleh sebab itu kewajiban seseorang itu ada dua perkara. Pertama, memjalankan perintah dalam lahiriyah; yaitu ta’at karena perintah Allah. Kedua, bergantungan dengan Alloh dalam bathin; yaitu merasa butuh kepada Allah dari pada selain-Nya. Dan salah satu dua perkara tersebut tidak bisa terpisahkan dari pemiliknya sebagaimana kedudukannya islam dan iman. Maka Lillah Billah harus diterapkan serempak bersama-sama. Hanya Lillah saja tanpa Billah; berbahaya !. bahayanya yaitu antara lain ‘Ujub, riya’, takabbur dan sebagainya. Begitu juga hanya Billah saja tanpa Lillah, menjadi batal karena tidak menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Sebagaian Ulama berkata:

“Barangsiapa bersyari’at tanpa hakikat, ia adalah fasiq, dan barangsiapa  berhakikat tanpa bersyari’at, ia adalah kafir zindiq (pura-pura iman)”.

Imam Abu Abdillah malik Ibnu Anas berkata:

“Barangsiapa berfiqh tanpa bertasawuf, ia adalah fasiq, dan barangsiapa bertasawuf tanpa berfiqh, ia adalah zindiq, dan barangsiapa melaksanakan keduanya, maka ia adalah sebagai orang yang benar-benar beragama islam”.
         
Dan menurut dalam kitab syarah hikam Ibnu Ibad bahwa semua amal yang tidak ada keikhlasan didalamnya; yaitu tidak dijiwai Billah dan Lillah, maka amal tersebut akan dikembalikan dan dipukulkan kewajah orang yang beramal.


"Terima Kasih atas kunjungannya dan Mohon maaf atas kekurangannya

2 komentar :